Latar Belakang
Mahasiswa, jika menurut definisi kata ialah mereka yang tengah
mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Mereka adalah jiwa-jiwa muda yang
tengah digembleng dengan rupa-rupa
ilmu pengetahuan untuk menjadi penerus bangsa ini; merekalah yang diharapkan
memberikan gagasan dan pemikiran baru untuk memecah permasalahan sekaligus
meningkatkan kualitas bangsa.
And people is what they eat.
Apa ada hubungannya? Ada. Makanan, bisa berbentuk nasi, lauk pauk,
buah dan sebagainya yang dicerna akan menjadi sumber bahan bakar tubuh dalam
beraktivitas. Apa-apa yang kita makan pun akan diolah dan digunakan sebagai
materi pembangun dan penyusun tubuh; prekursor platelet untuk penutupan luka di
kaki, membantu pembentukan haemoglobin untuk membawa oksigen, sumber protein
untuk otot, maupun glukosa sebagai sumber energi otak; seluruh bagian tubuh
kita tak akan terlepas dari pengaruh apa yang kita makan. Mau tidak mau,
keadaan tubuh kita sekarang bisa jadi adalah manifestasi dari apa-apa yang kita
makan sebelumnya.
Maka sebelum kita membahas hal teknis seperti rendahnya kepedulian dan
rasa kritis mahasiswa maupun rendahnya peringkat pendidikan rata-rata kita di
dunia; dalam tahapan awal mari bahas terlebih dahulu SDM yang tengah dibina
ini; atau dalam pembahasan kita kali ini—Mahasiswa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa rata-rata dilabeli imej sebagai
anak yang super hemat (anak kosan), duit pas-pasan. Dengan keadaan seperti
itu, mau tidak mau mereka akan memilih makanan dengan harga yang lebih murah,
tapi tetap enak dan mengenyangkan. Biasanya, tipe makanan jualan seperti ini
membawa konsekuensi yang cukup besar juga.
Bagaimana penyajiannya? Bagaimana tempat berjualannya?
Di tengah lonjakan harga rempah-rempah dan rumitnya pengolahan, belum
lagi kesibukkan dan jumlah mahasiswa yang begitu tinggi (sehingga tempat yang
luas dan strategis tentu menjadi mahal); mengejar ‘harga mahasiswa’ menimbulkan
konsekuensi yang cukup berat. Jika terus diabaikan, bagaimana nasib puluhan
ribu mahasiswa kita kedepannya?
Rumusan Masalah
Jika dilihat di sekitar kawasan Universitas Padjadjaran Jatinangor ,
ada 3 masalah yang kadang diabaikan karena terlanjur dianggap lumrah:
penggunaan MSG berlebih, sanitasi air dan kebersihan tempat makan.
1. MSG
ialah singkatan dari Monosodium Glutamate. Awalnya diambil dari ekstraksi kelp oleh Kikunae Ikeda, dimana ia
menyadari bahwa sup rebusan rumput laut tersebut memiliki sensasi rasa yang
lain: Umami (bukan manis, asin, pahit
ataupun asam). Produk hasil penemuan ini akhirnya diperdagangkan sebagai
Aji-no-motto dan akhirnya merambah Amerika Serikat melalui tentara PD-2 dan
menjadi salah satu bahan aditif paling digunakan di seluruh dunia.
Belakangan ditemukan rahasia dari MSG
itu sendiri; dikenal sebagai aditif yang dapat meningkatkan cita rasa masakan,
MSG ternyata bekerja sebagai Excitotoxin
dengan berikatan dengan neuron (sel
saraf) otak yang memiliki 3 glutamate
receptor, merangsangnya bekerja secara terus menerus dalam kurun waktu yang
pendek hingga akhirnya neuron itu
mati. Maka, penamaannya sebagai Excitotoxin
memang benar.
MSG juga menginduksi pengeluaran Dopamine, hormon yang membuat kita
merasa lebih sehat dan tenang. Dopamine ini bersifat adiktif. Menurut sejarah,
sebelum tahun 60-an, penggunaan MSG hanya setakaran 1-2 korek kuping (30-60
gram). Hingga di tahun-tahun selanjutnya terus meningkat hingga tercapailah 1
sendok teh yang setara dengan 100 korek kuping. Tak sedikit pula di sekitar
kita, pedagang yang menggunakan takaran ala kadarnya hingga mencapai 1 sendok
makan. Artinya, penggunaan MSG kita semakin meningkat bahkan hingga 250x lipat
dalam kurun waktu 50 tahun.
Efeknya mungkin tak akan langsung
terlihat. Tapi, semakin kita membiarkan diri mengkonsumsi MSG, maka jumlah neuron
yang kita punya pun akan semakin menurun. Tanpa terasa, pola pikir kita akan
melambat dan tertinggal. Tapi karena ini merupakan tindakan bersama, mungkin
saja kita tidak merasa turun; padahal kita secara keseluruhan mengalami
penurunan bersama sehingga tidak terlalu mencolok.
MSG adalah salah satu faktor penurun
kecerdasan yang dalam jangka panjang dapat bermanifestasi di Alzheimer , dll.
Masih mungkin jika dihubungkan dengan perbandingan kepahaman ilmu eksakta
siswa-siswi Indonesia yang selalu berada di bawah tenth percentile rata-rata dunia.
Hasil dari penelitian Kenney &
TindBall yang dianggap pro-MSG pun ternyata memiliki banyak lubang pengambilan
data (semisal, eksklusi objek percobaan tanpa keterangan). Jika ditelaah, malah
hasil penelitiannya adalah 2-3 gram dapat menyebabkan sindrom-rumah makan-China, 5
gram ke atas bahkan dapat menginduksi gangguan CRS berat.
Berbahaya sekali karena kini orang
Indonesia biasa menggunakan 1-5 gram MSG per porsinya.
Gagasan:
Federasi makanan, kelembagaan nasional
maupun internasional sebaiknya lebih terbuka akan bahaya MSG. Selama ini,
bahaya MSG terkesan ditutupi oleh pihak-pihak asing (yang diuntungkan dengan
penggunaan MSG pada produknya) dengan menggunakan hasil penelitian lama yang
kurang akurat. Akibatnya,bahaya penggunaan MSG secara ugal-ugalan jadi tidak tersampaikan pada masyarakat.
Belum lagi fakta bahwa jika dipanaskan,
MSG malah akan terbgi menjadi dua substansi yang sama-sama mutagenik dan
karsinogenik.
Seperti negara asalnya, Jepang, kini
hendaknya pemerintah melarang penggunaan izin MSG murni 100% (kecuali pabrik
makanan) dan mem-promote Aji Shio.
Aji shio terdiri dari 90% garam dan 10% MSG. Garam akan berfungsi sebagai controller jumlah dengan tetap mendapat
rasa gurih MSG yang pas. Terkadang, pedagang terus membubuhi MSG karena
memperlukan rasa yang kuat dan gurih; padahal yang mereka butuhkan sesungguhnya
adalah garam (3x lebih kuat dari MSG) . Aji Shio juga lebih murah harganya,
bahkan mudah dibuat sendiri.
Sosialisasi bahaya penggunaan MSG berlebihan
juga perlu dipahami oleh mahasiswa itu sendiri. Penggunaan satu sendok makan
MSG maupun satu sendok teh, sebenarnya sudah lebih dari cukup. Jika memang
tidak bisa langsung berhenti, mahasiswa bisa mengurngi sedikit demi sedikit
penggunaan MSG dengan meminta langsung pada si penjual. Sebisa mungkin awasi
juga pencampuran bumbu saat menghidangkan makanan (misal, bakso) karena kadang
takaran MSG-nya ‘hanya menurut feeling
saja’. Hentikan ketergantungan MSG sedini mungkin sebelum jumlah neuron kita semakin sedikit, dan bahkan
kita akan terlalu bodoh untuk
berpikir untuk berhenti.
2. Sanitasi
air di beberapa tempat makan di wilayah kampus Unpad Jatinangor masih sangat
memprihatinkan. Tidak adanya keran air bersih—semisal di Gerbang lama
Unpad—menyebabkan banyak pedagangnya yang menjadi kesulitan mengambil air
bersih untuk membuat minuman/makanannya, maupun kegiatan mencuci peralatan
makan. Akibatnya, masih banyak yang menggunakan sistem 2 ember (1 ember untuk
bilasan pertama berisi air sabun, ember kedua digunakan untuk ‘membilas’. Jadi
hanya dibersihkan, dikocok-kocok di ember 1, dicelup di ember 2). Bahaya,
jelas. Karena air yang digunakan tidak diganti, maka penyakit-penyakit yang
bisa menular lewat cairan tubuh dapat menjadikannya reservoir yang bagus. Hepatitis
dan HIV/AIDS adalah beberapa diantaranya.
Saluran air juga tak kalah penting untuk
mengalirkan air bekas pakai para pedagang. Bila tidak ada saluran air, pedagang
akan mengalirkannya begitu saja di jalan tempat pejalan kaki lewat. Air berisi
sisa-sisa makanan dan busa sabun yang mengalir begitu saja di sela kaki kita,
tentu menimbulkan ketidaknyamanan.
Gagasan
:
Tentu kita tidak bisa menuntut pedagang
berlaku bersih tanpa adanya sarana prasarana yang tepat. Pemilik ataupun
pengurus tempat pedagang tersebut hendaknya menyediakan sarana sanitasi air
yang baik. Telah tercantum pula dalam Kepmenkes RI NO.942/MENKES/SK/VII/2003
bahwa pedagangnya pun wajib menjaga kebersihan dagangannya sendiri dengan,
semisal, tidak menyentuh langsung makanan maupun mencegah penularan penyakit
lewat dagangannya.
Mengenai PerMenKes tadi, sebenarnya
Dinas Kabupaten/Kota lah yang wajib meninjau tempat penjualan makanan dan
melaporkannya pada Pemerintah Daerah secara berjenjang. Jika koordinasi
berjalan dengan sinergis, maka kebersihan lapak pedagang akan meningkat dan
dapat mencegah mahasiswa terganggu proses belajarnya karena sakit.
Perlu digarisbawahi juga bahwa
penggunaan plastik/styrofoam sekali pakai untuk ‘menjamin kebersihan’ tidak
sepenuhnya solutif karena akan menimbulkan masalah baru; menumpuknya sampah
yang seharusnya tidak diperlukan. Mahasiswa cerdas sebaiknya bisa mencegahnya
dengan membawa botol minuman sendiri ataupun kotak bekal kosong untuk diisi
makanan. Memang akan terasa merepotkan di awal, tapi lama-lama akan terasa
mudah bila terbiasa.
3. Kebersihan
dari lapak penjualan di beberapa spot
masih tergolong minim. Sisa-sisa makanan yang menyatu pada alas tanah warung,
sampah yang berserakan, belum lagi lalat yang ikut bersenda gurau dengan kita
saat makan.
Gagasan
:
Selain mengurangi
limbah makanan seperti yang ada di no. 2, perlu disediakan tempat sampah
tertutup untuk mencegah bau dan lalat yang berkembang biak. Pedagang juga,
sebaiknya rajin membersihkan lapak mereka sendiri demi kesehatan dan kenyamanan
pembeli maupun diri mereka sendiri.
Untuk hal ini,
mahasiswa dapat mengingatkan pedagang akan pentingnya kebersihan, tentunya
dengan cara yang santun dan tidak menggurui, hindari juga bila sedang ramai
pengunjung atau sedang sibuk membuat makanan. Bila suasana santai, ajak ngobrol
sebentar dan bilang saja bahwa pembeli akan lebih senang bila tempat makan
mereka pun bersih, serta akan semakin sering datang tentunya.
Bukan ingin menjadi
pilih-pilih. Bukan rese. Bukan
sok-sok an. Tapi kritis dan peduli. Sayang akan bangsanya dan ingin melindungi
penerusnya. Itulah kita, mahasiswa.
Oleh: Sonia Ayu Islami
Unduh kajian di: tinyurl.com/LISM-Kajian
0 komentar:
Posting Komentar