Kamis, 01 Januari 2015

Makanan Tunas Bangsaku

Latar Belakang

Mahasiswa, jika menurut definisi kata ialah mereka yang tengah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi. Mereka adalah jiwa-jiwa muda yang tengah digembleng dengan rupa-rupa ilmu pengetahuan untuk menjadi penerus bangsa ini; merekalah yang diharapkan memberikan gagasan dan pemikiran baru untuk memecah permasalahan sekaligus meningkatkan kualitas bangsa.
And people is what they eat.

Apa ada hubungannya? Ada. Makanan, bisa berbentuk nasi, lauk pauk, buah dan sebagainya yang dicerna akan menjadi sumber bahan bakar tubuh dalam beraktivitas. Apa-apa yang kita makan pun akan diolah dan digunakan sebagai materi pembangun dan penyusun tubuh; prekursor platelet untuk penutupan luka di kaki, membantu pembentukan haemoglobin untuk membawa oksigen, sumber protein untuk otot, maupun glukosa sebagai sumber energi otak; seluruh bagian tubuh kita tak akan terlepas dari pengaruh apa yang kita makan. Mau tidak mau, keadaan tubuh kita sekarang bisa jadi adalah manifestasi dari apa-apa yang kita makan sebelumnya.

Maka sebelum kita membahas hal teknis seperti rendahnya kepedulian dan rasa kritis mahasiswa maupun rendahnya peringkat pendidikan rata-rata kita di dunia; dalam tahapan awal mari bahas terlebih dahulu SDM yang tengah dibina ini; atau dalam pembahasan kita kali ini—Mahasiswa.

Tidak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa rata-rata dilabeli imej sebagai anak yang super hemat (anak kosan), duit pas-pasan. Dengan keadaan seperti itu, mau tidak mau mereka akan memilih makanan dengan harga yang lebih murah, tapi tetap enak dan mengenyangkan. Biasanya, tipe makanan jualan seperti ini membawa konsekuensi yang cukup besar juga.

Bagaimana penyajiannya? Bagaimana tempat berjualannya?

Di tengah lonjakan harga rempah-rempah dan rumitnya pengolahan, belum lagi kesibukkan dan jumlah mahasiswa yang begitu tinggi (sehingga tempat yang luas dan strategis tentu menjadi mahal); mengejar ‘harga mahasiswa’ menimbulkan konsekuensi yang cukup berat. Jika terus diabaikan, bagaimana nasib puluhan ribu mahasiswa kita kedepannya?




Rumusan Masalah

Jika dilihat di sekitar kawasan Universitas Padjadjaran Jatinangor , ada 3 masalah yang kadang diabaikan karena terlanjur dianggap lumrah: penggunaan MSG berlebih, sanitasi air dan kebersihan tempat makan.

1.       MSG ialah singkatan dari Monosodium Glutamate. Awalnya diambil dari ekstraksi kelp oleh Kikunae Ikeda, dimana ia menyadari bahwa sup rebusan rumput laut tersebut memiliki sensasi rasa yang lain: Umami (bukan manis, asin, pahit ataupun asam). Produk hasil penemuan ini akhirnya diperdagangkan sebagai Aji-no-motto dan akhirnya merambah Amerika Serikat melalui tentara PD-2 dan menjadi salah satu bahan aditif paling digunakan di seluruh dunia.

Belakangan ditemukan rahasia dari MSG itu sendiri; dikenal sebagai aditif yang dapat meningkatkan cita rasa masakan, MSG ternyata bekerja sebagai Excitotoxin dengan berikatan dengan neuron (sel saraf) otak yang memiliki 3 glutamate receptor, merangsangnya bekerja secara terus menerus dalam kurun waktu yang pendek hingga akhirnya neuron itu mati. Maka, penamaannya sebagai Excitotoxin memang benar.

MSG juga menginduksi pengeluaran Dopamine, hormon yang membuat kita merasa lebih sehat dan tenang. Dopamine ini bersifat adiktif. Menurut sejarah, sebelum tahun 60-an, penggunaan MSG hanya setakaran 1-2 korek kuping (30-60 gram). Hingga di tahun-tahun selanjutnya terus meningkat hingga tercapailah 1 sendok teh yang setara dengan 100 korek kuping. Tak sedikit pula di sekitar kita, pedagang yang menggunakan takaran ala kadarnya hingga mencapai 1 sendok makan. Artinya, penggunaan MSG kita semakin meningkat bahkan hingga 250x lipat dalam kurun waktu 50 tahun.

Efeknya mungkin tak akan langsung terlihat. Tapi, semakin kita membiarkan diri mengkonsumsi MSG, maka jumlah neuron yang kita punya pun akan semakin menurun. Tanpa terasa, pola pikir kita akan melambat dan tertinggal. Tapi karena ini merupakan tindakan bersama, mungkin saja kita tidak merasa turun; padahal kita secara keseluruhan mengalami penurunan bersama sehingga tidak terlalu mencolok.

MSG adalah salah satu faktor penurun kecerdasan yang dalam jangka panjang dapat bermanifestasi di Alzheimer , dll. Masih mungkin jika dihubungkan dengan perbandingan kepahaman ilmu eksakta siswa-siswi Indonesia yang selalu berada di bawah tenth percentile rata-rata dunia.

Hasil dari penelitian Kenney & TindBall yang dianggap pro-MSG pun ternyata memiliki banyak lubang pengambilan data (semisal, eksklusi objek percobaan tanpa keterangan). Jika ditelaah, malah hasil penelitiannya adalah 2-3 gram dapat menyebabkan sindrom-rumah makan-China, 5  gram ke atas bahkan dapat menginduksi gangguan CRS berat.

Berbahaya sekali karena kini orang Indonesia biasa menggunakan 1-5 gram MSG per porsinya.

Gagasan:

Federasi makanan, kelembagaan nasional maupun internasional sebaiknya lebih terbuka akan bahaya MSG. Selama ini, bahaya MSG terkesan ditutupi oleh pihak-pihak asing (yang diuntungkan dengan penggunaan MSG pada produknya) dengan menggunakan hasil penelitian lama yang kurang akurat. Akibatnya,bahaya penggunaan MSG secara ugal-ugalan jadi tidak tersampaikan pada masyarakat.

Belum lagi fakta bahwa jika dipanaskan, MSG malah akan terbgi menjadi dua substansi yang sama-sama mutagenik dan karsinogenik.
Seperti negara asalnya, Jepang, kini hendaknya pemerintah melarang penggunaan izin MSG murni 100% (kecuali pabrik makanan) dan mem-promote Aji Shio. Aji shio terdiri dari 90% garam dan 10% MSG. Garam akan berfungsi sebagai controller jumlah dengan tetap mendapat rasa gurih MSG yang pas. Terkadang, pedagang terus membubuhi MSG karena memperlukan rasa yang kuat dan gurih; padahal yang mereka butuhkan sesungguhnya adalah garam (3x lebih kuat dari MSG) . Aji Shio juga lebih murah harganya, bahkan mudah dibuat sendiri.

Sosialisasi bahaya penggunaan MSG berlebihan juga perlu dipahami oleh mahasiswa itu sendiri. Penggunaan satu sendok makan MSG maupun satu sendok teh, sebenarnya sudah lebih dari cukup. Jika memang tidak bisa langsung berhenti, mahasiswa bisa mengurngi sedikit demi sedikit penggunaan MSG dengan meminta langsung pada si penjual. Sebisa mungkin awasi juga pencampuran bumbu saat menghidangkan makanan (misal, bakso) karena kadang takaran MSG-nya ‘hanya menurut feeling saja’. Hentikan ketergantungan MSG sedini mungkin sebelum jumlah neuron kita semakin sedikit, dan bahkan kita akan terlalu bodoh untuk berpikir untuk berhenti.

2.       Sanitasi air di beberapa tempat makan di wilayah kampus Unpad Jatinangor masih sangat memprihatinkan. Tidak adanya keran air bersih—semisal di Gerbang lama Unpad—menyebabkan banyak pedagangnya yang menjadi kesulitan mengambil air bersih untuk membuat minuman/makanannya, maupun kegiatan mencuci peralatan makan. Akibatnya, masih banyak yang menggunakan sistem 2 ember (1 ember untuk bilasan pertama berisi air sabun, ember kedua digunakan untuk ‘membilas’. Jadi hanya dibersihkan, dikocok-kocok di ember 1, dicelup di ember 2). Bahaya, jelas. Karena air yang digunakan tidak diganti, maka penyakit-penyakit yang bisa menular lewat cairan tubuh dapat menjadikannya reservoir yang bagus. Hepatitis dan HIV/AIDS adalah beberapa diantaranya.

Saluran air juga tak kalah penting untuk mengalirkan air bekas pakai para pedagang. Bila tidak ada saluran air, pedagang akan mengalirkannya begitu saja di jalan tempat pejalan kaki lewat. Air berisi sisa-sisa makanan dan busa sabun yang mengalir begitu saja di sela kaki kita, tentu menimbulkan ketidaknyamanan.

Gagasan :

Tentu kita tidak bisa menuntut pedagang berlaku bersih tanpa adanya sarana prasarana yang tepat. Pemilik ataupun pengurus tempat pedagang tersebut hendaknya menyediakan sarana sanitasi air yang baik. Telah tercantum pula dalam Kepmenkes RI NO.942/MENKES/SK/VII/2003 bahwa pedagangnya pun wajib menjaga kebersihan dagangannya sendiri dengan, semisal, tidak menyentuh langsung makanan maupun mencegah penularan penyakit lewat dagangannya.

Mengenai PerMenKes tadi, sebenarnya Dinas Kabupaten/Kota lah yang wajib meninjau tempat penjualan makanan dan melaporkannya pada Pemerintah Daerah secara berjenjang. Jika koordinasi berjalan dengan sinergis, maka kebersihan lapak pedagang akan meningkat dan dapat mencegah mahasiswa terganggu proses belajarnya karena sakit.

Perlu digarisbawahi juga bahwa penggunaan plastik/styrofoam sekali pakai untuk ‘menjamin kebersihan’ tidak sepenuhnya solutif karena akan menimbulkan masalah baru; menumpuknya sampah yang seharusnya tidak diperlukan. Mahasiswa cerdas sebaiknya bisa mencegahnya dengan membawa botol minuman sendiri ataupun kotak bekal kosong untuk diisi makanan. Memang akan terasa merepotkan di awal, tapi lama-lama akan terasa mudah bila terbiasa.

3.       Kebersihan dari lapak penjualan di beberapa spot masih tergolong minim. Sisa-sisa makanan yang menyatu pada alas tanah warung, sampah yang berserakan, belum lagi lalat yang ikut bersenda gurau dengan kita saat makan.

Gagasan :

Selain mengurangi limbah makanan seperti yang ada di no. 2, perlu disediakan tempat sampah tertutup untuk mencegah bau dan lalat yang berkembang biak. Pedagang juga, sebaiknya rajin membersihkan lapak mereka sendiri demi kesehatan dan kenyamanan pembeli maupun diri mereka sendiri.

Untuk hal ini, mahasiswa dapat mengingatkan pedagang akan pentingnya kebersihan, tentunya dengan cara yang santun dan tidak menggurui, hindari juga bila sedang ramai pengunjung atau sedang sibuk membuat makanan. Bila suasana santai, ajak ngobrol sebentar dan bilang saja bahwa pembeli akan lebih senang bila tempat makan mereka pun bersih, serta akan semakin sering datang tentunya.





Bukan ingin menjadi pilih-pilih. Bukan rese. Bukan sok-sok an. Tapi kritis dan peduli. Sayang akan bangsanya dan ingin melindungi penerusnya. Itulah kita, mahasiswa.


Oleh: Sonia Ayu Islami
Unduh kajian di: tinyurl.com/LISM-Kajian

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.