Struktur
masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, dan adat
istiadat yang mencerminkan sebagai negara majemuk. Seperti yang diungkapkan
oleh J.S Furnivall tentang masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda adalah masyarakat majemuk (plural society) yang tanpa
ada asimilasi pada kesatuan politik dan adanya kehendak bersama (common will). Pembaruan pada masyarakat
Indonesia yang pluralis, dimungkinkan terjadinya perkawinan silang antar etnis
karena faktor geografis dan pengembaraan ke suatu daerah tertentu di Indonesia,
yang menghasilkan generasi campuran/antaretnis.
Pada
masa Hindia-Belanda , masyarakat Indonesia dikategorikan kepada tiga kelas oleh
J.S Furnivall; kelas pertama orang Belanda adalah golongan minoritas, yang
jumlahnya semakin bertambah banyak, terutama pada abad XIX, merupakan penguasa yang
memerintah bagian besar orang Indonesia, yakni pribumi yang menjadi warga
negara Indonesia menjadi kelas ketiga.
Kedudukan menengah dari struktur masyarakat plural Indonesia, yaitu kelompok
etnis Tionghoa yang termasuk sepuluh besar kelompok etnis dalam masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, etnis Tionghoa mengambil andil penting dalam sejarah
peranan dan pengaruh di Indonesia. Pada catatan sejarah, kasus politik etnis
Tionghoa telah dua kali melakukan langkah politik, yaitu pertama, pada tahun
1740 terjadi pemberontakn masyarakat Tionghoa melawan Belanda di Batavia
(Jakarta) “mereka berhasil merebut posisi kompeni Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang
berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni, kemudian kekuatan Tionghoa itu
berhasil dibersihkan oleh van Imhoff yang berkekuatan lebih dari 1.800 orang
serdadu”.
Yang kedua, pada tahun 1777 masyarakat Tionghoa membangun kerajaan kecil yang
disebut Lanfang Gonghegou (Republik Lanfang) di Mandor Kalimantan Barat.
Nasionalisme
etnis Tionghoa pun semakin tinggi pada era 1900 dengan adanya pembentukan
sebuah organisai Tiong Hoa Hwe Koan,
yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Tionghoa akan pentingnya konfusianisme
(kemanusiaan). Gerakan ini juga berfokus dalam membangun sekolah untuk golongan
etnis Tionghoa. Kemudian, organisasi-organisasi etnis Tionghoa semakin
berkembang dengan munculnya organisasi Tiong
Hoa Hak Tong yang mendirikan sekolah di seluruh Jawa dengan menggunakan pengantar
bahasa Cina.
Etnis Tionghoa tidak hanya bergerak pada organisasi dan sekolah saja, mereka
pun menerbitkan surat kabar Tionghoa peranakan dalam bahasa Melayu Tionghoa,
seperti Li Po (1901 di Sukabumi), Chabar Perniagaan (1903 di Batavia), Pewarta Soerabaia (1902 di Surabaya),
dan Djawa Tengah (1909 di Semarang).
Nasionalisme
etnis Tionghoa pun berlanjut, setelah organisasi Tiong Hoa Hwe Koan berhasil mendirikan sekolah untuk golongan etnis
Tionghoa, organisasi ini selanjutnya berubah haluan menjadi gerakan politik
bagi orang Cina di Indonesia yang di sebut Gerakan Cina Raya. Gerakan Cina Raya
berkembang dengan pesat pada sektor perdagangan yang dikenal “Kamar Dagang
Tionghoa” yang terbentuk di seluruh Jawa.
Gerakan ini pun mempersatukan orang Tionghoa Hindia-Belanda dan berorientasi
secara kultural dan politik ke negeri Cina. Ada tiga aliran utama dalam dunis
politik Tionghoa adalah kelompok Sin Po, Chung Hwa Hui (PHH), dan Partai
Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan pada tanggal 25 September 1932. Saat
berdirinya kelompok politik Tionghoa dibantu oleh Persatuan Bangsa Indonesia
dan kaum nasionalis Indonesia, terutama dr. Soetomo dan Soeroso.
Kelompok
aliran politk Tionghoa pun melakukan peranan politiknya,seperti gerakan politik
yang dilakukan oleh kelompok Sin Po adalah saat menunjukan sikap penolkan
terhadap Wet op het Nederlandsche
Onderdaanschap (WNO) atau Undang-Undang tentang Kawula Negara Belanda.
Kelompok Sin Po menghendaki orang Tionghoa Hindia-Belanda mempertahankan
kebagsaan Cina dan berusah menarik golongan peranakan lebih dekat ke Cina
dengan membuat mereka lebih menyerupai Cina totok.
Berbeda
dengan kelompok Sin Po, kelompok Chung Hwa Hui mengambil sikap dengan mempertahankan
identitas etnis Tionghoa di Hindia Belanda, namun mereka menerima tentang Wet op het Nederlandsche Onderdaanschap, serta
melakukan kerjasama dengan pemerintah kolonial untuk kemakmuran Hindia-Belanda.
Sejarah etnis Tionghoa Orde
Lama
Saat menjelang kemerdekaan Indonesia
1945, peranan golongan Eropa sudah terlempar keluar sistem sosial masyarakat,
yang digantikan oleh golongan Jepang yang menjadikan Indonesia negara jajahan.
Namun pada akhirnya masyarakat Indonesia dengan berbagai etnis, saat-saat
menjelang kemerdekaan golongan pribumi menempati peranan penting dalam dinamika
sosial politik dan budaya.
Kelompok
politik Tionghoa yang ketiga yaitu Partai Tionghoa Indonesi (PTI), berperan dan
berpengaruh dalam kemerdekaan Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa Partai
Tionghoa Indonesia adalah partai yang memiliki latar belakang partai kiri, bersikap
anti-kolonial, dan mempertahankan identitas golongan etnis Tionghoa di kalangan
masyarakat Indonesia yang terasimilasi dengan golongan pribumi. Etnis Tionghoa
pun sejak masa kemerdekaan mnuntut kesamaan hak (equality) dan kewajiban dengan orang pribumi yang sama-sama
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Liem Koen Hian sebagai pendiri Partai
Tionghoa Indonesia juga terlibat sebagai anggota BPUPKI yang mengatakan bahwa
partainya pro-kewarganegaraan Indonesia.
Menjelang kemerdekaan Indonesia,
masyarakat Tionghoa di Indonesia masih mengalami perpecahan menurut berbagai
orientasi politik, yang menyebabkan dinamika sosial politik pro-Indonesia,
pro-Tionghoa, dan pro-Jepang jalan berdampingan. Liem Koen Hian juga berpidato
di Sidang Peripurna Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) pada tanggal 11 Agustus 1945 mendesak BPUPKI untuk medeklarasikan
bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia di
dalam Undang-Undang Dasar Indonesia yang akan datang, karena orang Tionghoa
melihat Indonesia sebagai tanah air mereka karena mereka tinggal di Indonesia.
Namun Oei Tjong Hauw, mantan pemimpi CHH, beranggapan dalam UUD di masa depan,
seluruh orang Tionghoa menjadi warga negara Tiongkok meskipun mereka tinggal di
Indonesia, dan editor surat kabat Tionghoa pernakan pro-Jepang mengatakan bahwa
orang Tionghoa lokal harus diizinkan untuk memilih warga negara Indonesia atau
Tiongkok. Jadi, pada saat persiapaan kemerdekaan Indonesia, orientasi politik
etnis Tionghoa Indonesia terpecah dalam beberapa faksi politis.
Identitas etnis dan nasionalisme
Tionghoa memang dipertahankan dan dipelihara dengan baik oleh keturunan
Tionghoa, setelah Perang Dunia II bermunculan kembali organisasi-organisasi
etnis Tionghoa kepermuakaan. Salah satu organisasi tersebut adalah, Persatuan Tionghoa
(PT), yang terbentuk atas dasar kepentingan masyarakat Tionghoa yang didirikan
pada tahun 1948. Setelah Persatuan Tionghoa berjalan 2 tahun tepatnya 1950,
organisasi ini mengalami perubahan nama menjadi Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia (PDTI) sebagai partai lokal dari kalangan pekerja kerah putih,
profesional, dan usahawan Tionghoa, PDTI bersikeras mempertahankan identitas
Tionghoa yang terpisah dari Indonesia dan menegaskan untuk mempertahankan
partai politik Tionghoa sebagai hak kalangan minoritas.
Di
masa demokrasi terpimpin golongan etnis Tionghoa mendapatkan peran dan pengaruh
politik Inodesia, seperti terdapat beberapa menteri dari etnis Tionghoa salah
satunya ialah Oei Tjoe Tat yan menjadi menteri yang diperbantukan dalam
presidium kabinet Bung karno ia cenderung menjadi tangan kanan Bung Karno
terutama ketika terjadi Konflik dengan Malaysia. Pada masa dibentuk lembaga yang
bertujuan membela keturunan Tionghoa dari diskriminasi aturan negara, mulanya
tercetus nama Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Turuanan Tionghoa
(Baperwat), namun mengalami berdebatan karena menggunakan kata “Tionghoa” dan
pada akhirnya merubah menjadi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
(Baperki) yang diketuai Siauw Giok Tjhan dan wakilnya Yap Thiam Hien. Dengan
tebentuknya Baperki, maka leburlah PDTI (pusat maupun cabang) otomatis berubah
menjadi Baperki. Sebagai golongan etnis Tionghoa, langkah ini merupakan sejarah
besar serta sejalan dengan sambutan hangat oleh Bung Karno yang mengatakan “Di
dalam negara kita tidak boleh adanya mayokrasi, tapi tidak boleh juga minokrasi”.
Baperki
ini merupakan jalan awal politik bahkan kekuatan politik yang besar dalam
melawan diskriminasi ras, menuntut jaminan yang kuat di dalam konstitusi akan
hak-hak minoritas, bercita-cita memperjuankan persamaan hak di antara warga
negara dan membangun masyarakat yang sosialis.
Di
dalam Baperki sendiri tak jarang terdapat perbedaan-berbedaan secara “politis”
yang terjadi, seperti ketika membahas kedudukan wrga peranakan Cina. Giok Tjhan
dan mereka yang berhaluan kiri menerima konsep integrasionis, karena menjadi
bagian dari Indonesia mesti terintegrasi bagai bunga yang hidup berdampingan
dalam sebuah taman, namun adapula selisih pendapat yang tidak mementingkan
adanya integrasionis.
Pada
masa Indonesia akan kembali ke UUD 1945, ada perselisihan antara para petinggi
Baperki yang setuju terhadap keputusan tersebut, amun wakil ketua Yap Thiam
Hien tidak menyetujui. Yap beranggapan konstitusi bentukan BPUPKI terlalu
otoriter, UUD 1945 menyediakan ruang terlalu lebar bagi Sukarno untuk bertindak
one man show, dan yang membuat paling
cemas adalah melemahkan sendi Hak Asasi Manusia (HAM). Sejarah negara
berkonstitusi menurut Yap seorang keturunan Tionghoa adalah sejarah perjuangan
rakyat melawan tirani, depotisme, dan absolutisme. Konstitusi adalah
manifestasi dari kemenangan keadilan (justice) atas kesewenang-wenangan dan
kekuasaat mutlak. Namun dukungan politik Yap, tidak sepadan dengan perjuangan
dia membela tidak kembalinya ke UUD 1945, Soekarno pun tetap membubarkan
Konstiuante karena dasar desakan Angkatan Darat (AD) dan beranggapan
Konstiuante yang dibentuk pada November 1956 terlalu lambat.
Ternyata
kemuduran yang dikhawatirkan Yap terjadi, pada tahun 1959, Pemerintah
mengeluarkan PP No.10/1959, yang isinya melarang orang-orang Cina asing
berdagang di tingkat kabupaten kebawah. Akibatnya ratusan ribu orang Tionghoa terpaksa
melakukan repartriasi ke RRC, dan para komandan militer (Angkatan Darat)
khususnya di Jawa Barat melarang orang Cina bertempat tinggal dipedesaan.
Konsep pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan sungguh meminggirkan
golongan etnis Tionghoa, serta mengakibatkan lebih dari 100.000 orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia selama tahun 1960-1961 dan mayoritas mengalami
kesengsaraan. Hal ini pun dikaitkan dengan “intrik-intrik” politik negara
Indonesia dan Tiongkok dan ada peningkatan teror dalam perbatasan-perbatasan
Indonesia sendiri, seperti pada tahun 1963 terjadi kerusuhan rasial pecah
dibeberapa tempat di Jawa. Pada masa ini perlakuan aparat militer yang menjadi
alat negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa sabagai golongan
pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang mempunyai tanah kelahiran
(pribumi). Namun, kenyataan yang terjadi menjadi paradoks karena adanya
lobi-lobi penguasa yang tidak bisa menghindar dari sebagia elite etnis
Tionghoa. Disisi lain, bangkit pula semangat nasionalisme yang cenderung
mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang mengakibatkan suramnya
rasialisme di Negara Republik Indonesia.
Sejarah etnis Tionghoa
Orde Baru
Runtuhnya rezim Orde Lama membawa
kebankitan terhadap diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia, measa
pemerintahan Orde Baru tetap mebuat etnis Tionghoa mengalami diskriminasi
rasial dan hilangnya hak asasi manusia, contohnya sebagai berikut ;
- mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada
Kartu Tanda Penduduk
- tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi
pegawai negeri serta tentara
- pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki
tanah di pedesaan.
Itu hanya
sebagian contoh kecil mengnai sikap pemerintah Orde Baru terhadap golongan
etnis Tionghoa, masih banyak lagi hal-hal yang merenggut Hak Asasi Manusia
terhadap kaum minoritas ini.
Selama
pemerintahan Orde Baru, yang dipimpin oleh Soeharto selam 32 tahun, golongan
etnis Tionghoa mengalami kekangan keras terhadap aspek politik dan aspek
budaya. Pada aspek politik pemerintah Orde Baru mengeluarkan Ketetapan MPRS
Nomor XXV/MPRS/1996 tentang Larangan Komunisme dan Marxisme-Leninisme karena
dianggap bahaya laten bagi ketahanan nasional. Baperki yang diketuai oleh
Siaouw Giok Thjan, yang dianggap berhaluan Komunisme, langsung menghentikan
kreativitas politiknya. Meskipun ada orang-orang etnis Tionghoa yang terlibat
dalam politik praktis, namun keterlibatannya tidak terlalu menonjol.
Pada
aspek budaya, Pemerintah Indonesia mengelurkan PP No.14/1967, yang berisi
larangan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat Cina di Indonesia.
Konsiderasi Inpres tersebut lengkapnya berbunyi, sebagai berikut.
“Agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat pada negeri
leluhurnya, yang dalam manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologi,
mental, dan moral yang kurang wajar terhadap warga Indonesia, sehingga
merupakan hambatan terhadap asimilasi perlu diatur serta ditetapkan fungsinya
pada proporsi yang wajar”.
Jadi, inti dari PP No.14 tahun 1967
adalah harus adanya stabilitas politik negara yang kacau balau akibat adanya
peristiwa G/30S pada tahun 1965, dan korelasi dengan etnis Tionghoa adalah
karena organisasi/lembaga Baperki dianggap berhaluan Komunisme yang pada
“sejarahnya” menjadi dalang dalam pemberotakan 1965.
Pada tanggal 7 Juni 1967, Soeharta
mengelurkan suran “Kebijakan Pokok Penyelesaian Masalah Cina” yang berisi
tentang etnis Tionghoa WNA yang memounya itikad baik akan mendapat jaminan
keamanan dan perlindungan atas kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Surat
edaran ini kemudian di tindak lanjuti dengan Keputusan Presiden pada Desember
1967 yang isinya menyatakan bahwa Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa
WNA dan Tionghoa WNI.
Untuk menhindari “ekslusif” terhadap
etnis Tionghoa di Indonesia, pemerintah mengasimilasikan orang-orang etnis
Tionghoa dan melakukan baerbagai usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan
leluhurnya. Proses asimilasi ini terlihat sebagai berikut;
- Aturan penggantian nama
- Melarang segala bentuk penerbitan degan bahasa
serta aksara Cina
- Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam
keluarga
- Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari
raya tradisional Tionghoa di muka umum
- Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan
anak-anak Tionghoa untuk masuk ke sekolah umum negeri atau swasta
Hubungan dikeluarkan kebijakan ini
adalah adanya kepentingan ekonomi dengan kepentingan politik pemerintahan. Pada
era Orde Baru kata diskriminasi rasial “haram” untuk di sebutkan, bhkan untuk
diperbincangkan yang disiasati oleh pemerintahan Orde Baru menjadi SARA (Suku,
Agama, Ras, dan Antargolongan) yang tetap tidak boleh diperbincangkan, jadi
hanya dibiarkan begitu saja seperti air mengalir tanpa ada tindak lanjutnya
dari pemerintah, walaupun sebenarnya terjadi konflik SARA.
Diskriminasi
golongan etnis Tionghoa terlihat pula dari sikap Pemerintah yang megharuskan
etbis Tionghoa yang berada di Indonesia memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan
Indonesia (SKBRI) yang berbentuk paspor tersebut. Dalam proses memiliki SKBRI
ini pun tidak mudah, bahkan sering menyakitkan bagi orang Tionghoa. Contoh suatu
kisah dari Teddy, konsultan IT keturunan Tionghoa yang akan membuat SKBRI ,
petugas disana meminta dia menyanyikan lagu Indonesia Raya terlebih dahulu,
lalu petugas bertanya “siapa pengarannya dan dimana pengarang tersbut
meninggal?”. Seolah-oleh petugas SKBRI ini pun tidak memilik rasa menghargai
antargolongan.
Diskriminasi yang terjadi pada
pemerintahan Orde Baru sangat terlihat jelas, karena diambilnya hak berpolitik
sebagai salah satu etnis yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pemerintah hanya menyediakan sedikit sekali orang etnis Tionghoa yang dapat
berperan dalam politik praktis. Tetapi golongan etnis Tionghoa tetap berfokus
atau mengalihkan kegiatannya pada kegiatan ekonomi mulai dari tingkat pusat,
provinsi, sampai di kabupaten/kota yang ditekuni selama 32 tahun sepanjang
pemerintahan Orde Baru. Dari hasil kegiatan ekonomi, etnis Tionghoa berhasil
mendominasi ekonomi nasional dan ini pula yang menjadi alasan jarang
orang-orang Tionghoa yang ingin bersimggungan dengan kegiatan politik.
Pada masa
Orde Baru ada sekitar 10 produk perundang – undangan yang sangat diskriminatif
secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :
- Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967
tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina
- Surat Edaran Presidium Kabinet RI No.
SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina
- Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat istiadat Cina
- Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan
Staf Khusus Urusan Cina
- Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan
Klenteng
- Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan
Koordinasi Masalah Cina
- SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978
tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa
dan Aksara Cina
- Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di
tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan
Berbahasa Cina
- Surat edaran SE.02/SE/Ditjen/PPG/K/998, yang
melarang penerbitan dan percetakan tulisan/iklan beraksara dan berbahasa
Cina di depan umum.
- Peraturan Menteri Perumahan No. 455.2-360/1998,
yang melarang penggunaan lahan untuk mendirikan , memperluas, atau
memperbarui kelenteng Cina.
Dari contoh
perundang-undangn di atas pun terlihat bahwa pemerintah Orde Baru memang secara
sistematis melakukan diskriminasi rasial terhadap golongan etnis Tionghoa. Masa
transisi era Orde Lama ke era Orde Baru bukan menghilangkan diskriminasi,
bahkan menjadi meningkatkan diskriminasi rasial untuk golongan etnis Tionghoa
di Indonesia. Orde Baru juga telah melakukan asimilasi total terhadap masyarkat
Tionghoa, seperti penghpusan tiga pilar etnis Tionghoa yaitu; organisasi
Tionghoa, media massa Tionghoa, dan sekolah Tionghoa, telah di hapus, dan
dibuang jauh saat rezim ini berkuasa. Rezim yang mementingkan stabiltasi
sosial-politik tanpa adanya rasa menghargai (toleransi) antargolongan. Seperti
yang dikatakan oleh John F. Kennedy “The
hottest places in Hell are reserved for those who in a period of moral crisis
maintain neutrality”.
Sejarah
etnis Tionghoa sejak Reformasi
Sebelum
reformasi Indonesia, pada tanggal 9 Juli 1996 muncul kententuan Keputusan
Presiden No.56/1996, yang isinya, semua peraturan yang mensyaratkan SKBRI
dihapus. Yang menjadikan etnis Tionghoa tidak perlu memiliki nama Indonesia
untuk syarat tinggal di Indonesia, orang-orang etnis Tionghoa dapat menggunakan
nama turunan Tionghoa. Keputusan Presiden ini pun diperkuat oleh Intruksi
Presiden No.26/1998. Sedikit demi-sedikit diskrimiasi yang dirasakan oleh
golongan etnis Tionghoa telah dihapuskan dari konstitusi.
Pada
puncak Reformasi, pecah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo terdapat korban
tewas dan terjadi pemerkosaan terhadap para wanita keturunan Cina, sekitar
5.000 warga keturunan Cina Indonesia melarikan diri ke luar negeri. Setelah
pemerintahan Orde Baru runtuh, etnis Tionghoa dapt menghirup udara segara
politik praktis seperti 5 Juni 1998, Lieus Sungkharisma, bendahara Komite
Nasional Pemuda Indonesia, yang mendirikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia
(Parti) yang bertujuan untuk memperjuangkn integrasi keturunan Cina ke dalam
bangsa Indonesia, Partai Pembaruan Indonesia (yang tidak bertahan lama,
sehingga menjadi asosiasi biasa), dan Partai Bhineka Tunggal Ika (PBI).
Bermunculan juga organisasi non-government
organization (NGOs), contohnya Solidaritas Nusa-Bangsa(SNB), Gerakan
Anti-Diskriminasi (Gandi), Paguyuban Marga Sosial Tionghoa Indonesia (PSSTI),
dan Perhimpunan INTI dibenuk untuk memperjuangkan nasib Tionghoa di Indonesia.
Catatan
sejarah kelam dari kalangan etnis Tionghoa pada era Orde Baru, banyak
orang-orang Tionghoa yang kecewa terhadap pemerintahan Soeharto, efek yang
terjadi saat pasca reformasi tahun 1999 ketika pemilu, banyak Tionghoa yang
mendukung PDIP dibandingkan Golkar. Sedangkan partai politik Tionghoa sendiri
seperti Parti dan Partai Pembaruan tidak ikut pemilu, yang mengikuti hanya
Partai Bhineka Ika (PBI) Nurdin Purnomos. Sikap apolitis atau kurangnya minat
terhadap politik yang terjadi pada kalangan Tionghoa, menimbulkan tiga efek
negatif seperti yang di katakan oleh Lin Che Wei, C.F.A seorang Direktur
Independent Research & Advisor yaitu;
- Polarisasi
yang memungkinkan suburnya crony
capitalism-etnis Cina, khususnya para pengusaha besar, yang menjadi target
“sumber penanaan” kegiatan politik tertentu.
- Etnis
Tionghoa sering terlihat tidak mengambil sikap atau berpihak di bidang politik
, kecenderungan akan diberikan terhadap yang memberikan “perlindungan” dan
menjamin kelangsungan bisnis mereka.
- Ketidakmauan
etnis Tionghoa terjun di kegiatan non-bisnis, menyebabkan market-dominant minorities makin parah.
Era
pemerintahan pasca-Orde Baru mulai menjalankan “multikulturalisme”, memunculkan
ke-ekslusif-an terhadap etnis Tionghoa, dan mulai muncul kembali tiga pilar
etnis Tionghoa, walaupun tidak terlalu berpengaruh terhadap peranakan Tionghoa
di Indonesia. Namun era ini, memunculkan kembali simbol etnis Tionghoa di Indonesia
yang sudah lama dibungkam oleh rezim
otoriter, karena rezim reformasi sudah memberikan kebebasan politik terhadap
etnis Tionghoa, udara segara demokrasi di Indonesia yang melai mengaplikasikan
ke-Bhineka Tunggal Ika tanpa harus ada yang terdiskriminasi karena hak asasi
suatu golongan tidak diindahkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Jadi,
sejarah etnis Tionghoa di Indonesia mengalami dinamika politik yang luar biasa
sejak masa penjajahan, samapai akhirnya terjadi dekonstruksi sosial-politik terhadap
rezim Orde Baru ke rezim Reformasi, di mana pasca-Reformasi memunculkan
“esensial identitas”, yang berarti setiap etnis diakui oleh pemerintah, dan
menjadi era baru untuk etnis Tionghoa, seperti kebebasan yang belum pernah
diperoleh selma ini. Di era pasca-Reformasi ini muncul pejabat publik berdarah
Indonesia-Tionghoa setelah Bob Hasan, yakni Kwik Kian Giedan Mari Elka Pangestu.
Lalu munculnya sosok Basuki T.Purnamayang pernah memimpin Kabupaten Belitung
Timur, dan pada tahun 2013 terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta yang
berdampingan dengan Joko Widodo sebagai Gubernur DKI melalui pemilihan
langsung, ini merupak hasil dekonstruksi sosial-politik yang terjadi di
Indonesia. Dan pada akhirnya setelah perhelatan pemilu Presiden 2014
terpilihnya Joko Widodo menjadi Presiden Republik Indonesia periode (2014-2019)
dan mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI, otomatis membuat Basuki T. Purnamayang
naik menjadi Gubernur DKI pada tahun 2014.
Fenomena
ini menunjukan bahwa sudah tidak ada sekat antara pribumi dan etnis Tionghoa di
ranah politik perkotaan, walaupun masih ada anggapan pro-kontra terhadap
anggapan bahwa “Basuki T.Purnamayang sebagai keturunan Tionghoa menjadi seorang
pemimpin di tingkat ibu kota”.
Oleh
karena itu, slogan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai simbol Negara Indonesia
seharusnya dikaji kembali apabila ada anggapan WNI yang ber-etnis Tionghoa
tidak boleh memimpin di lingkungan politik. Karena Indonesia adalah keberagaman
yang tetap satu, menjunjung tinggi rasa toleransi antar agama, etnis, adat
istiadat, kedaerahan. Walaupun seseorang yang memimpin adalah dari etnis
minoritas itu tidak menjadi masalah, yang terpenting pemimpin ini tidak
menimbulkan perpecahan yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia
karena seluruh Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama
untuk tercapainya keadilan (justice)
dalam bermasyarakat.
Daftar
Pustaka
Avalokitesvari, N. N. (2014, March 15). Diskriminasi
Etnis Tionghoa di Indonesia Pada MAsa Orde Lama dan Orde Baru. Dipetik
November 4, 2014, dari tionghoa.info
Ode, M. L. (2012). Etnis Cina Indonesia dalam
Politik. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Salim, E. Y. (2012, December 22). Potret
Indonesia-Tionghoa : Ambiguitas di Tengah Era Kebebasan. Dipetik November
4, 2014, dari www.indonesiamedia.com
Suryadinata, L. (2004). Majalah Tempo Edisi Etnis
Cina di Zaman yang Berubah. Etnis Tionghoa sejak Reformasi, 38-39.
Warsidi, A. (2013). Majalah Tempo Edisi Bercermin
pada Yap Thiam Hien. 'Lone Ranger' Penentang UUD 1945, 83-84.
Warsidi, A. (2013). Majalah Tempo Edisi Bercermin
pada Yap Thiam Hien. Tersingkir di Jalan Lurus, 80-81.
Wei, L. C. (2004). Majalah Tempo Edisi Etnis Cina di
Zaman yang Berubah. Fase Baru Peranan Etnis Cina di Indonesia, 46-47.