Tepat pada tanggal
8 Juli 2014, atau sehari sebelum pemilu presiden dilaksanakan, DPR telah mengesahkan
Rancangan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (sering disebut RUU MD3) menjadi
Undang-undang. Banyak sekali pasal baru “yang bersifat kontroversi” muncul, terutama
pasal yang mengatur adanya “Mahkamah Kehormatan Dewan”. Berbagai kalangan memberikan
pendapat atas keberadaan “Mahkamah Kehormatan Dewan”. Ada yang mengatakan bahwa
dengan adanya institusi baru di internal DPR, maka akan mengembalikan wibawa
DPR sebagai wakil rakyat. Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu akan menghambat
lembaga penegakan hukum (terutama KPK) untuk melakukan penegakan hukum di
lembaga DPR yang katanya “berwibawa”.
Perihal tentang “Mahkamah Kehormatan
Dewan”, dalam draft UU MD3 terbaru diatur dalam pasal 121 dan 245. Ada beberapa
pasal “kontroversi” yang ada indikasi dibuat dalam rangka melemahkan proses
penegakan hukum bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, yaitu 121
ayat (2) yang mengatur pemilihan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan pasal
245 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur prosedur penegakan hukum bagi anggota
DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana.
Pada
pasal 121 ayat (2) dijelaskan, “Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas
1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dan
oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan
usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat.”.
Dalam pasal 245 ayat (1) dijelaskan, “pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.” Kemudian dalam pasal 245 ayat
(2) dijelaskan, “jika Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan persetujuan tertulis
dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima, pemanggilan dan permintaan keterangan
untuk penyidikan dapat dilakukan.” Dan pada pasal 245 ayat (3)
dijelaskan, “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan tidak berlaku jika
anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Aturan itu juga tidak berlaku
bagi anggota yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan
dan keamanan Negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Melihat penjelasan tentang Mahkamah Kehormatan
Dewan yang diatur dalam pasal 121 ayat (2), pasal 245 ayat (1), (2), dan (3),
maka proses penegakan hukum dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum
“terutama KPK” terhadap anggota DPR akan semakin melemah. Ada kekhawatiran dengan
proses pemilihan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang dalam pasal 121 ayat
(2) berasal dari kalangan anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan dengan musyawarah
mencapai kemufakatan, maka dalam proses kewenangan dan fungsinya tidak akan independen,
non-partisan, dan professional. Adapun bagi lembaga penegak hukum, dengan adanya
pasal 245 ayat (1), (2), dan (3), maka proses penegakan hukum bagi anggota DPR
akan semakin melemah dan rumit, karena prosedurnya yang begitu panjang.
Hakikat dibentuknya “Mahkamah
Kehormatan Dewan” dalam rangka mengembalikan wibawa anggota DPR sebagai wakil rakyat
sesungguhnya tidak tepat. Melihat fakta bahwa begitu banyak kasus korupsi yang
dilakukan oleh oknum anggota DPR membuktikan bahwa DPR harus banyak berbenah diri
agar dalam proses pengabdian betul-betul untuk kepentingan rakyat, sehingga lembaga
DPR akan terlihat berwibawa.
Oleh karena itu, diperlukan upaya hukum
dalam rangka memperkuat posisi penegak hukum dalam hal pengawasan terhadap anggota
DPR. Mekanisme Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal 121 ayat
(2) dan pasal 245 ayat (1), (2), dan (3) harus dilakukan, karena ada indikasi bertentangan
dengan UUD 1945. Wibawa itu didapat dengan usaha dan kerja untuk kepentingan rakyat,
bukan dari dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan.
Menolak diam,
Kementrian Kajian Strategis BEM Kema Unpad.
Unduh kajian disini.
0 komentar:
Posting Komentar