Latar
Belakang
17 Agustus 1962 merupakan siaran
televisi pertama yang disiarkan di Indonesia. Siaran televisi itu merupakan
siaran peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 17. Waktu tayang
siaran pun berlangsung dari pukul 7.30 WIB sampai pukul 11.02 WIB. Stasiun
televisi yang menyiarkannya hanya satu, yaitu TVRI (Televisi Republik
Indonesia).
Pada saat itu TVRI merupakan stasiun
televisi satu-satunya yang dimiliki oleh Indonesia. Otomatis TVRI pada saat itu
memonopoli penyiaran televisi di Indonesia. Saat diadakannya acara Sea Games
yang ke 4, pada saat itu Indonesia menjadi tuan rumah acara. TVRI kali ini juga
menyiarkan acara Sea Games tersebut dan pada tanggal 24 Agustus 1962 TVRI mampu
menjangkau seluruh wilayah di Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu.
Pemerintah mulai mengizinkan para pengusaha untuk mendirikan stasiun televisi
swasta. Pada tahun 1989, lebih tepatnya
pada tanggal 24 Agustus 1989 mulai mengudara stasiun televisi swasta pertama di
Indonesia yaitu, RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia). Dengan berdirinya
RCTI diikuti dengan berdirinya stasiu-stasiun televisi yang lain seperti SCTV, TPI
dan lainnya.
Sekitar tahun 2000an, semakin banyak
stasiun-stasiun televisi yang bermunculan. Baik itu stasiun televisi lokal
maupun nasional. Dengan semakin banyaknya stasiun televisi bermunculan, maka
semakin ketat pula persaingan antar stasiun televisi. Stasiun-stasiun televisi
yang ada pun semakin banyak mengeluarkan program-program acara televisi untuk
menarik penonton.
Dengan ketatnya persaingan antar
stasiun televisi yang satu dengan stasiun televisi yang lainnya, membuat para
pelaku media menggunakan segala cara untuk dapat menarik penonton. Mereka mulau
membuat acara dari ajang pencarian bakat, hipnotis, sinetron, reality show
sampai variety show yang menayangkan acara hipnotis yang ditonton didepan umum,
tarian-tarian sampai membagi-bagikan uang kepada penonton.
Permasalahan
Semakin ketatnya
persaingan antar insan pertelevisian membuat para pemilik stasiun-stasiun
televisi yang ada menghalalkan segala cara untuk menjaring penonton
sebanyak-banyaknya. Para pemilik stasiun
televisi membuat acara-acara di stasiun televisi mereka tetapi tidak
memperhatikan kualitas acara yang dibuat.
Banyak para pelaku televisi yang
melanggar UU 32 tahun 2002. Karena pada dasarnya diberlakukannya UU 32 tahun
2002 untuk menjaga agar para pelaku media dalam mambuat program televisi harus
menjaga norma susila, nilai moral. Tetapi, pada prakteknya banyak
stasiun-stasiun televisi yang melanggar UU tersebut.
Acara-acara variety show yang
ditayanngkan pada waktu prime time
disaat banyak para anak-anak menonton, karena prime time merupakan waktu yang biasanya orang gunakan untuk
menonton banyak yang melanggar nilai moral dan nilai susila. Acara-acara
tersebut menyajikan lawakan-lawakan yang kerap kali membuat para pemainnya
saling ejek dan juga menggunakan lawakan-lawakan yang menggunakan fisik.
Padahal acara itu banyak ditonton oleh para anak-anak kecil yang dapat membuat
para anak kecil itu mencontoh para pemain variety show tersebut.
Ada juga sinetron-sinetron yang
remaja yang menayangkan tentang percintaan para remaja. Memang tidak salah
dengan sinteron yang bertemakan tentang percintaan remaja, tetapi yang menjadi
permasalahannya adalah kerap kali di sinetron tersebut menayangkan adegan
intimidasi ataupun tentang permusuhan antar kelompok remaja. Selain menayangkan
adegan intimidasi dan permusuhan sinetron-sinetron tersebut juga menampilkan
kemewahan-kemewahan sehingga hal ini ditakutkan dapat menyebabkan para remaja
yang menonton mengikuti apa yang mereka tonton ditelevisi setiap harinya.
Padahal stasiun-stasiun televisi
tersebut, banyak dari permirsa mereka adalah anak-anak dan juga remaja.
Sehingga para pemirsa televisi muda tersebut yanng sering kali menonton
acara-acara televisi kerap kali mengikuti apa yang mereka tonton setiap
harinya.
Walaupun pihak stasiun televisi
mengetahui hal ini. Tetapi, mereka tidak mempedulikan apa yang terjadi kepada
para penonton muda mereka tersebut. Mereka hanya mementingkan kuntungan semata.
Ditambah, para orang tua yang seharusnya mengawasi anak-anak mereka dalam
memilih program televisi terkesan tidak peduli. Mereka masih menganggap wajar
program-program acara televisi tersebut untuk ditonton untuk anak-anak mereka.
Para oranng tua tersebut tidak mengetahui bahaya apa yang mengintai anak-anak
mereka jika terus-terusan disuguhi oleh program-program acara televisi yang
tidak mendidik sama sekali.
Walaupun pemerintah sudah mendirikan
KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), dan KPI pun sudah berulang kali menghukum
stasiun-stasiun yang dianggap KPI bermasalah dengan program yang mereka
tayangkan. Tetapi, stasiun-stasiun ini tidak jera karena KPI hanya menghukum
stasiun televisi ini hanya dengan membberikan peringatan saja. Karena KPI hanya
memberikan peringatan saja, jelas wajarlah kalau para stasiun-stasiun televisi
yang bermasalah tidak kapok menayangkan program yang kurang mendidik.
Gagasan
Seharusnya KPI yang merupakan
sebagai rem bagi para stasiu-stasiun televisi yang bermasalah dapat bertindak
lebih tegas lagi dalam menyikapi stasiun-stasiun televisi tersebut. KPI juga
seharusnya lebih memiliki inisiatif dalam menghukum stasiun televisi yang bermasalah
dan tidak harus menunggu didesak oleh para pemirsa yang sudah sadar untuk
menghukum stasiun-stasiun televisi yang bermasalah.
Para pemilik stasiun televisi juga
seharusnya tidak hanya memikirkan keuntungan semata saja. Stasiun-stasiun
televisi harus lebih banyak mengeluarkan program-program yang lebih berbobot
saat prime time. Kalaupun ada program
yang berbau kekerasan dan itu lolos dari sensor lebih baik ditayangkan disaat
jam anak-anak tidur, sehingga dapat menghindari ditonton-oleh anak-anak. Karena
jika acara-acara kekerasan ditonton oleh anak-anak, mereka kerap kali menirukan
hal tersebut dan hal ini sangatlah berbahaya.
Para orang tua juga seharusnya lebih
peduli dengan apa yang anak-anak mereka tonton. Karena anak-anak akan menelan
mentah-mentah apa yang mereka tonton. Disini peran orang tua sangatlah penting
dengan mengawasi apa saja yang anak-anak mereka tonton. Kalaupun KPI kecolongan
dengan program-program yang berbau kekerasan dan ejekan-ejekan yang diperagakan
oleh para pemainnya, dan si anak sudah terlanjur melihat program tersebut sang
orang tua dapat menjelaskan kepada anak mereka bahwa hal itu bukanlah hal yang
dapat ditiru.
Daftar Pustaka
http://www.pemkomedan.go.id/uuti/uu_322002a.php
Oleh: Pandu Dwita Purnama
Unduh kajian di: tinyurl.com/LISM-Kajian
0 komentar:
Posting Komentar