Senin, 15 September 2014

Polemik RUU Pilkada : Demokrasi Mundur Lagi?!

LATAR BELAKANG

        

M
asyarakat Indonesia saat ini sedang disibukkan dengan RUU pemilihan kepala daerah yang nantinya akan dipilih melalui DPRD. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD pernah dilakukan di negeri ini pada masa orde baru dimana pada saat itu kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah dikuasai oleh elit-elit politik karena kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyatnya melainkan oleh lembaga legislatif pada tingkatnya.

Sistem pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh lembaga legislatif terkait sebenarnya bukan hal yang baru di negeri ini, pada saat Indonesia belum merdeka jabatan kepala daerah sudah memiliki sistem (konstitusi) yang mengaturnya. Sejarah demokrasi di Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membuat Undang-undang pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisasi wet 1903. Selanjutnya dengan dasar ketentuan yuridis, decentralisasi wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20 Desember 1904 (dikenal dengan decentralisasi desluit 1904). Peraturan ini memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat. Secara sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang pemerintahan daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan daaerah luar Jawa dan Madura.
Pada masa itu pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No.5 tahun 1974 tentang pokok pemerintahan daerah, di dalamnya juga mengatur pemilihan kepala daerah. Kemudian ditetapkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada masa - masa sebelumnya sangat terpengaruh campur tangan pemerintah. Undang - undang nomor 22 tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang - undang nomor 22 tahun 1999 dinilai kurang aspiratif dalam mewakili suara rakyat, sehingga menimbulkan banyak kritikan. Untuk mengganti UU tersebut maka ditetapkanlah undang - undang nomor 32 tahun 2004.
UU ini mengatur tentang pemerintahan daerah, didalamnya ada beberapa pasal yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah, mengungkapkan UU no 32 tahun 2004 Pasal 24 ayat 5 “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Kepala daerah adalah satu kesatuan antara pemimpin dan wakilnya, sehingga dalam pelaksanaannya harus dicalonkan satu pasang, juga dipilihnya harus oleh masyarakat di daerah tersebut secara langsung bukan melalui perwakilan. Hal ini juga diperkuat dalam pasal 56 ayat 1 “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”. Dalam UU ini terdapat sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang pilkada langsung.
Melalui Undang - undang nomor 12 tahun 2008 tentang perubahan terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004, hal yang paling berbeda dari Undang - undang ini ada pada bagian pemilihan kepala daerah. Pada undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang - undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan tertulis dan fotokopi KTP atau dengan kata lain calon kepala daerah bisa mencalonkan dari jalur independen dengan beberapa persyaratan.
Indonesia saat ini memiliki 34 Provinsi dan 511 Kabupaten/Kota, terdapat 34 Provinsi dan 545 Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pilkada, jika dihitung maka terdapat 539 Pilkada dalam kurun waktu 5 tahun—ada beberapa opini yang menyatakan bahwa ini merupakan pemborosan anggaran Negara padahal sebenarnya Pilkada ini tidak menggunakan Uang Negara melainkan masuk ke dalam APBD, hal ini diatur dalam UU No.32 tahun 2004 Pasal 112 “Biaya kegiatan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD”.

PERMASALAHAN

Ada beberapa Pasal yang dinilai kontroversial di dalam draft RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah, salah satunya ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah ke jaman orde baru dengan tidak melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, akan tetapi melalui DPRD. Berikut beberapa pasal yang termaktub dalam draft RUU Pemilihan Kepala Daerah yang dilansir dari situs resmi DPR RI :

Pasal>>Pemilihan Gubernur dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

Pasal >>
(1)   Pemilihan gubernur dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan pertama dan tahapan kedua.
(2)   Tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a.       Pengumuman pendaftaran calon;
b.      Pendaftaran calon Gubernur
c.       Penelitian persyaratan calon Gubernur
d.      Penetapan calon Gubernur
(3)   Tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimulai paling lambat 4 (empat) bulan sebelum berakhir masa jabatan Gubernur.
(4)   Tahapan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
(5)   Tahapan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a.    penyampaian visi dan misi;
b.   pemungutan dan penghitungan suara;
c.    penetapan hasil pemilihan; dan
d.   uji publik terhadap hasil pemilihan;
(6)   Tahapan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimulai 7 (tujuh) hari setelah tahapan pertama pemilihan selesai


Pasal>>
(1)   Penyelenggara Pemilihan Gubernur adalah :
a . KPU Provinsi; dan
b . DPRD Provinsi.
(2)   KPU Provinsi menyelenggarakan tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada pasal ... (merujuk pada pasal sebelum ini) ayat (2)
(3)   DPRD Provinsi menyelenggarakan tahapan pertama sebagaimana dimaksud pada pasal ... (merujuk pada pasal sebelum ini) ayat (5)
Pasal diatas menjelaskan tentang pemilihan Gubernur dengan melalui 2 tahapan, tahapan pertama dilakukan oleh KPU sementara tahapan ke dua yang paling penting, karena didalamnya terdapat pemungutan dan penghitungan suara dilakukan oleh DPRD provinsi, sehingga hal ini jelas bahwa pemilihan kepala daerah akan kembali ke jaman orde baru, dan menghilangkan prinsip “langsung” dalam pengambilan suara. Bukankah demokrasi itu adalah kedaulatan rakyat, menurut Alamudi (1991) demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berilku-liku sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari kebebasan.

Selanjutnya Alamudi (1991) mengemukakan soko guru demokrasi sebagai berikut:
1.      Kedaulatanrakyat.
2.      Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari diperintah.
3.      Kekuasaan mayoritas.
4.      Pengakuan hak-hak minoritas.
5.      Jaminan hak asasi manusia.
6.      Pemilihan yang bebas dan jujur.
7.      Persamaan di depan hukum.
8.      Proses hukum yang wajar.
9.      Pembatasan pemerintah secara konstitusional.
10.  Pluralisme sosial, ekonomi dan politik.
11.  Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.

Sehingga, jika pemilihan kepala Daerah melalui DPRD dilaksanakan, ini mencederai nilai demokrasi yang sedang berkembang di Indonesia, apalagi kedua calon Presiden RI 2014-2015 pada saat debat kampanye, mereka mengemukakan akan tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Memang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tidak sepenuhnya sempurna, bahkan menimbulkan beberapa polemik, diantaranya yang paling masif adalah money politic. Hal ini terjadi, jika dianalisis lebih dalam kesalahan ada pada calon Kepala Daerah dan juga masyarakatnya karena mindset atau pola pikir sebagian masyarakat yang tidak akan memberikan suara jika calon Kepala daerah tidak memberikan uang atau materi. Money politic kerap terjadi ketika kampanye terbuka berlangsung dari calon kepala daerah karena untuk menggerakan massa yang masif diperlukan biaya yang besar; sehingga untuk menghindari hal ini bisa saja dibuat peraturan tentang larangan kampanye terbuka atau pengawasan yang diperketat ketika akan diadakan kampanye terbuka.
Selain pasal tentang pemilihan kepala daerah melewati DPRD, ada juga beberapa hal yang sedang diperdebatkan, antara lain pemilihan wakil kepala daerah dipilih oleh kepala daerah terpilih baik dari PNS atau pun Non-PNS, juga ada yang mengusulkan dipilih satu paket, menurut kami kedua-duanya rawan terjadi penyalahgunaan, baik dipilih satu paket maupun dipilih oleh kepala daerah, ini bisa memberikan ruang yang besar untuk terjadinya korupsi.
Pada bagian penutup dari draft RUU Pemilihan Kepala Daerah ini dijelaskan juga, bahwa pada saat UU Pilkada ini diberlakukan, maka ketentuan yang mengatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No.12 tahun 2008, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 
PERNYATAAN SIKAP BEM KEMA UNPAD

Setelah mengkaji mengenai RUU PILKADA, kami menyoroti tentang pemilihan Kepala daerah, dimana ada perdebatan di DPR antara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung atau Pemilihan Kepala Daerah melalui anggota DPRD, dan kami MENOLAK Pemilihan Kepala Daerah secara tidak langsung atau melalui mekanisme pemilihan di DPRD, ada beberapa hal yang harus digaris bawahi jika Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui DPRD, diantaranya :
·     

  •  ·       Di dalam UUD 45 pasal 18 ayat 4 “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis “

Penjelasan pasal 18 ayat 4 ini dinilai multitafsir tentang arti nilai demokratis. Kami berpendapat bahwa demokratis disini adalah kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, sehingga rakyat yang mempunyai hak untuk memutuskan siapa yang akan menjadi kepala daerah melalui mekanisme Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung seperti yang sudah dilaksanakan dari tahun 2005.


  • ·         Akan semakin banyak penyalahgunaan jabatan di dalam mekanisme pemilihan Kepala Daerah jika dilakukan oleh DPRD, sehingga bisa menimbulkan tindakan-tindakan korupsi secara masif.

  • ·         Mencederai nilai demokrasi yang sedang dibangun dan terus berkembang di Indonesia, karena Pemilihan Kepala Daerah merupakan salah satu sarana pendidikan politik dan salah satu parameter majunya sebuah demokrasi di suatu Negara adalah tingkat pengetahuan politik Masyrakatnya yang semakin meninggkat.

  • ·         Kepentingan elite politik akan semakin tinggi dan tidak dipungkiri akan menenggelamkan kepentingan rakyat dibandingkan dengan kepentingan politis juga kekuasaan

  • ·         Akan membuat perubahan kultur sistem politik di Pemerintahan Daerah


Maka dari itu kami mendesak agar :

·         Pengesahan RUU PILKADA tidak dilakukan oleh anggota DPR periode 2009-20014, mengingat masih adanya beberapa persoalan yang menyangkut isi dari RUU PILKADA dan masih harus dibahas lebih mendalam lagi
·         Dihilangkannya mekanisme Pemilihan Kepala Daerah melalui anggota DPRD dan tetap mengadakan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh masyarakat
 
DAFTAR PUSTAKA

Ari Barata Tampubolon. 2010. Sejarah Pemilu Kepala Daerah Di Indonesia                        http://politik.kompasiana.com/2010/11/30/sejarah-pemilu-kepala-daerah-di-indonesia-322769.html (diakses 14 september 2014 )
Joko J. Prihatmoko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Filosofi, Sistem, dan Problema Penerapan di Indonesia
UU Nomor 32 tahun 2004
UU Nomor 12 tahun 2008
DPR, Draft RUU Pemilihan Kepala Daerah. http://dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/ruu-sedang-dibahas (diakses 14 september 2014)


Unduh Kajian disini.

Kontroversi 'Mahkamah Kehormatan Dewan' dalam UU MD3 Terbaru

Mengembalikan Wibawa (Semu) atau Upaya Pelemahan Fungsi Lembaga Penegakan Hukum

Tepat pada tanggal 8 Juli 2014, atau sehari sebelum pemilu presiden dilaksanakan, DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (sering disebut RUU MD3) menjadi Undang-undang. Banyak sekali pasal baru “yang bersifat kontroversi” muncul, terutama pasal yang mengatur adanya “Mahkamah Kehormatan Dewan”. Berbagai kalangan memberikan pendapat atas keberadaan “Mahkamah Kehormatan Dewan”. Ada yang mengatakan bahwa dengan adanya institusi baru di internal DPR, maka akan mengembalikan wibawa DPR sebagai wakil rakyat. Ada pula yang mengatakan bahwa hal itu akan menghambat lembaga penegakan hukum (terutama KPK) untuk melakukan penegakan hukum di lembaga DPR yang katanya “berwibawa”.

            Perihal tentang “Mahkamah Kehormatan Dewan”, dalam draft UU MD3 terbaru diatur dalam pasal 121 dan 245. Ada beberapa pasal “kontroversi” yang ada indikasi dibuat dalam rangka melemahkan proses penegakan hukum bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, yaitu 121 ayat (2) yang mengatur pemilihan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan pasal 245 ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur prosedur penegakan hukum bagi anggota DPR yang diduga melakukan suatu tindak pidana. 

Pada pasal 121 ayat (2) dijelaskan, “Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat.”. Dalam pasal 245 ayat (1) dijelaskan, “pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.” Kemudian dalam pasal 245 ayat (2) dijelaskan, “jika Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan persetujuan tertulis dalam waktu 30 hari sejak permohonan diterima, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan.” Dan pada pasal 245 ayat (3) dijelaskan, “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan tidak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Aturan itu juga tidak berlaku bagi anggota yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan Negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

            Melihat penjelasan tentang Mahkamah Kehormatan Dewan yang diatur dalam pasal 121 ayat (2), pasal 245 ayat (1), (2), dan (3), maka proses penegakan hukum dan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum “terutama KPK” terhadap anggota DPR akan semakin melemah. Ada kekhawatiran dengan proses pemilihan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang dalam pasal 121 ayat (2) berasal dari kalangan anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan dengan musyawarah mencapai kemufakatan, maka dalam proses kewenangan dan fungsinya tidak akan independen, non-partisan, dan professional. Adapun bagi lembaga penegak hukum, dengan adanya pasal 245 ayat (1), (2), dan (3), maka proses penegakan hukum bagi anggota DPR akan semakin melemah dan rumit, karena prosedurnya yang begitu panjang.

            Hakikat dibentuknya “Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam rangka mengembalikan wibawa anggota DPR sebagai wakil rakyat sesungguhnya tidak tepat. Melihat fakta bahwa begitu banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh oknum anggota DPR membuktikan bahwa DPR harus banyak berbenah diri agar dalam proses pengabdian betul-betul untuk kepentingan rakyat, sehingga lembaga DPR akan terlihat berwibawa.

            Oleh karena itu, diperlukan upaya hukum dalam rangka memperkuat posisi penegak hukum dalam hal pengawasan terhadap anggota DPR. Mekanisme Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal 121 ayat (2) dan pasal 245 ayat (1), (2), dan (3) harus dilakukan, karena ada indikasi bertentangan dengan UUD 1945. Wibawa itu didapat dengan usaha dan kerja untuk kepentingan rakyat, bukan dari dibentuknya Mahkamah Kehormatan Dewan.

Menolak diam,
Kementrian Kajian Strategis BEM Kema Unpad.


Unduh kajian disini.
Diberdayakan oleh Blogger.